Selasa, 10 Oktober 2017

Sangge Sangge potret hidup masa kini

Sangge Sangge potret hidup masa kini

Awal Oktober 2017 kata bumbu  sangge-sangge / daun Serai menjadi hangat di bicarakan di seluruh media social terutama orang-orang Batak, baik anak-anak muda maupun orangtua dan juga masuk ke media mainstream.

Drama sangge-sangge ini bermula dari postingan seorang wanita ( boru Batak ) di media Facebook lengkap dengan screenshot chatting nya dengan calon mertua .
Pernikahan Tika Romauli Siregar dan Windra Simangunsong  akhirnya batal karena calon pengantin perempuan terlibat adu argument dalam percakapan menyakitkan serta menyudutkan dengan sang calon ibu mertua. Tika Boru Siregar tersinggung ketika calon ibu mertuanya membahas pakaian yang dikenakannya saat acara Martumpol (bertunangan/ikat janji pra-Nikah) dan langsung mengajukan pembatalan pernikahan.

Calon mertua menilai pakaiannya ketika Martumpol tidak layak digunakan lagi dalam acara seperti itu karena sudah usang.
Calon mertua juga menyinggung perhiasan emas yang ia gunakan, terlalu kecil dan tipis seperti daun sangge-sangge (daun serai/bahasa ilmiahnya cymbopogon citratus).
                                                                         

Calon pengantin tersebut awalnya meladeni dengan baik namun bendungan sabar rupanya jebol juga membaca caci maki dari calon mertua nya. setelah melewati pertimbangan matang sana sini dan tidak ada respon pembelaan dari calon suami akhirnya pupuslah sudah rencana mereka ke pelaminan.

                                                                     
Inilah awal mula kisah sangge-sangge dengan berbagai tanggapan, meme, parodi, bahkan lagu.
Mengapa sangge-sangge ini begitu cepat menyebar dan viral? Itu terjadi karena secara kultural, sangge-sangge memang akrab dengan tatanan kehidupan orang Batak.

Sangge-sangge merupakan bumbu pelengkap untuk kuliner tradisional Batak. Seluruh makanan khas Batak selalu pakai sangge-sangge. Sejalan dengan itu, maka sangge-sangge lekat dengan adat, dengan budaya.
Sanggge-sangge adalah tentang rasa, tentang aroma. Penikmat kuliner asli tradisi akan segera tahu jika bumbu makanan khas Batak, misalnya ikan arsik, sop, tidak dilengkapi dengan tanaman suku rumputan berdaun tipis ini.
Penggunaannya saat meracik bumbu juga harus cermat. Tidak boleh berlebihan, sebab jika digunakan terlalu banyak, makanan akan terasa pahit.

Utuk masakan arsik, naniura, gulai ikan, sangge-sangge cukup penting, meski porsinya tidak cukup banyak. Sebab bila berlebihan, rasa makanan jadi pahit. Tapi kalau tidak pakai Sangge-sangge, aroma masakan sepertinya kurang pas.

 Harganya murah, gampang didapat, dan mudah tumbuh di mana saja, dipekarangan rumah pun bisa tumbuh. Untuk di wilayah Asia pun sangge sangge selalu hadir disetiap masakan suku bangsa mereka.

 Karean begitu dekatnya  tumbuhan sangge-sangge bagi kaum ibu maka bisa dipahami, para ibu akan mudah menggunakannya sebagai perlambang untuk mewakili perumpamaan tentang sesuatu atau tudos tudos.

Dalam kejadian ini kalung emas di leher calon menantu di umpamakan kecil setipis daun sangge-sangge, karena ukuran sebagan ibu yang sempit pola pikirnya emas harus besar gramnya, soal seni estetika belakangan.

Umumnya daun sangge-sangge  di potong tidak ikut dalam bumbu masak, yang dipakai untuk pelengkap bumbu adalah bagian batang, yang memiliki cita rasa tinggi. Istilah kalung setipis daun sangge-sangge bisa merujuk pada makna bahwa kalung yang kecil tidak ada artinya, tidak memiliki cita rasa, tidak memunculkan ‘kehormatan’ sosial. Kalung yang bermartabat adalah kalung setebal batang sangge-sangge.

Sesungguhnya, perlambangan ini lahir dari penghayatan yang mendalam dan mendarah daging, sebagaimana halnya selera lidah menyatu dengan aroma dan citarasa makanan yang diciptakannya. Sebab kuliner memang penjaga ingatan, sekaligus jalan menuju identitas.

Para perantau akan selalu terkenang pada kuliner awal yang membesarkannya. Itulah sebabnya para perantau selalu mencari kuliner-kuliner khas yang ia kenal sejak kanak-kanak.

Dan sangge-sangge, dalam konteks yang sangat romantis sebagai bagian dari budaya itu, muncul secara mengejutkan, membatalkan sebuah acara pernikahan yang secara adat dan budaya juga sakral. Sangge-sangge adalah pelengkap makanan dalam tradisi adat-istiadat, tapi ia dipakai sebagai perlambangan yang menyakitkan dalam acara adat itu sendiri.

Itulah yang menyebabkannya viral, sebab ia menyentuh sisi terdalam perasaan dan cita rasa orang Batak yang memang akrab dengan sangge-sangge. Sangge-sangge ini menembus relung terdalam pikiran dan hati.

Perlawanan atas kekerasan Bahasa atas tipisnya sangge sangge  terjadi di manamana lewat lagu,parodi, meme dan lain sebagainya.
Semoga kisah ini menjadi sada tudos tudos na mangolu tu hita halak Batak  kalau kedepan mau menjadi calon mertua maupun  calon memantu( contoh nyata )

Ada lagi sisi lainnya sangge-sangge ini. selain tipis, daunnya juga bergerigi tajam dan bisa menyebabkan luka jika tergores pada tangan. Dan untuk ini sangge-sangge telah merobek dan melukai hati dua insan .

Bagot na marhalto ma tubu di robean
Horas hamu na manjaha suang songoni hami na mamosting


Ditulis dan dikutip dari berbagai sumber

2 komentar:

>
>